Senin, 01 April 2013

My Childish side



Mungkin setelah baca tulisan ini, anda sang pembaca akan menJudge saya sebagai orang yang manja, kekanak-kanakan, lebay, sangat tidak dewasa, atau mungkin bocah (eww). Terserah anda mau bilang apa, aku ga begitu peduli, karna emang inilah yang aku rasain.
Dari mulai masuk SMP sampe sekarang, aku udah hidup jauh dari orang tua aku. Ya sekitar 6 tahun lebih, aku menjalani hidup dengan keadaan luntang lantung sendiri. Tamat SD, aku dijebloskan ke suatu SMP swasta yang berasrama. Dengan berbekal bakat bersosialisasi yang sangat kurang dan tingkat ke egoisan yang teramat sangat besar, aku menjalani awal masa labil ku di asrama. Bukan hal yang mudah buat aku untuk hidup dan bersosialisasi dengan 6 orang seumuranku yang sama sekali aku ga kenal sebelumnya. Mungkin untuk orang yang supel, atau sebut saja yang memiliki bakat sosialisasi yang tinggi, mereka bisa mudah untuk berteman dengan siapa aja. tapi kalo untuk bisa cocok dengan semua orang, itu belum tentu bisa. Ya, apa lagi aku. Dengan ke ansosan yang aku miliki, aku seakan dipaksa untuk bisa cocok dengan mereka, Mereka yang seumuran denganku, mereka yang ga aku kenal, mereka yang juga memasuki tahap hidup labil, mereka yang sama sepertiku yang egonya belum terlatih, mereka yang anak SMP. Akhirnya, Setelah 3 tahun berlalu,  aku pun lulus SMP. Selain mengantongi surat tanda tamat belajar, aku juga seakan akan mengantongi surat tanda tamat seleksi alam.
SMA, masa-masa labil tingkat 2. Hidup ngekost tentunya sangat berbeda dengan hidup berasrama. Segalanya seakan-akan bertolak belakang. Kamar yang berisik berubah menjadi sepi sunyi. Malam yang hangat dan ramai berubah menjadi dingin dan sunyi menakutkan. Asrama yang tak kenal kata privasi berubah menjadi kost-an yang akrab dengan privasi. Dan satu satunya yang masih berbanding lurus adalah saat dimana ketika aku membuka mataku di pagi hari, pantulan cahaya dari ayahku ga jatuh di retina mataku, dan saat aku terbangun dari tidurku, getaran dari alunan suara ibuku ga menggetarkan gendang telingaku. Ya, kita masih terhalang oleh jarak yang jauh.
Dan sekarang kuliah. Dan saya ngekost. Dan yang saya rasakan masih tetap sama seperti SMA. Dan perbedaannya hanyalah pada letak geografis kost-an saya berpijak.
Salah satu efek samping yang saya dapat selama hidup jauh dari mereka adalah ketika kami bertemu, aku seakan akan berubah menjadi bocah ingusan yang haus akan kasih sayang mereka. Kurangnya frekuensi bertemu yang dialami selama ini seakan akan menghasilkan gunungan rasa rindu akan omelan mereka. Dan rasa manja juga sisi kekanak kanakan ku seakan akan sudah melampaui kotak manja yang ada di ruang hati aku.
Dan salah satu tragedy yang diakibatkan oleh efek samping itu adalah peristiwa ini.
Sekitar beberapa minggu yang lalu, aku dijemput dari kost-an ku. Saat itu, yang ada dalam otak aku hanyalah rasa bahagia karna malam itu aku ga akan tidur sendiri lagi. Besok pagi, bayangan ayah aku bakal jatuh diretina mataku, dan alunan suara ibuku akan menggetarkan gendang telingaku. Perasaan senang ini mampu mengenyampingkan pikiranku tentang kuliah, membuatku amnesia dengan UTS, dan membuat aku berkata apa itu kalkulus? Apa itu semacam nama makanan? Atau mungkin itu salah satu kode rahasia?.
Aku benar. Kami bertemu. Dan aku bermanja-manja pada mereka. Saat malam, aku tidur dengan ibuku. Saat pagi, ayahku bertanya keadaanku. Saat makan, aku disuapin ibuku. Dan masih banyak lagi kemanjaan lainnya pada moment itu. Tapi sayangnya, kenapa segala macam kemanjaan itu harus ada bayarannya?. Maksudnya, apakah rasa suka yang dialami jiwa aku harus di bayar dengan rasa duka di raga aku?. Ya, aku sakit. Tapi anehnya, aku bahagia saat aku sakit.
Pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam kepala aku saat itu adalah, apakah ragaku harus selemah ini agar aku bisa mendapatkan pelukan dari ibuku saat aku tertidur?, apakah suhu didahiku harus sepanas ini agar aku bisa mendapatkan sentuhan tangan ibuku sendiri?, apakah tenggorokanku harus sesakit ini agar aku bisa mendapatkan suapan makanan yang dilayangkan ibuku?, apakah aku harus tidur dirumah sakit hanya untuk sekedar mendengar ayahku berkata sekarang gimana kabarmu??, apakah harus ada darah yang mengalir dihidungku agar aku bisa mencium harum tubuh ibuku?, apakah harus ada jarum yang di tancapkan pada pembuluh venaku agar bayangan mereka jatuh diretinaku?, apakah darahku harus diambil beberapa kali sehari agar aku bisa mendapatkan perhatian mereka?, dan apakah aku harus sakit agar aku bisa bertemu mereka?.
Okey, aku terima semua ini. Mungkin emang ini jalan yang harus aku lewati agar aku bisa mengerti seberapa berharganya waktu yang kita lalui bersama, dan agar aku mengerti bahwa perpisahan itu bukan untuk melahirkan kepedihan tapi untuk menambah kerinduan. (Hahaha, terdengar menjijikan)

1 komentar:

  1. pas smp teh siapa aja temen temennya?sebutin atuh,dan aku tau sopo.hahaha
    *sombong

    BalasHapus