Mungkin setelah
baca tulisan ini, anda “sang pembaca” akan menJudge saya sebagai
orang yang manja, kekanak-kanakan, lebay, sangat tidak dewasa, atau mungkin bocah
(eww). Terserah anda mau bilang apa, aku ga begitu peduli, karna emang inilah
yang aku rasain.
Dari mulai masuk
SMP sampe sekarang, aku udah hidup jauh dari orang tua aku. Ya… sekitar 6 tahun lebih, aku menjalani
hidup dengan keadaan luntang lantung sendiri. Tamat SD, aku dijebloskan ke
suatu SMP swasta yang berasrama. Dengan berbekal bakat bersosialisasi yang sangat
kurang dan tingkat ke egoisan yang teramat sangat besar, aku menjalani awal masa
labil ku di asrama. Bukan hal yang mudah buat aku untuk hidup dan bersosialisasi
dengan 6 orang seumuranku yang sama sekali aku ga kenal sebelumnya. Mungkin untuk
orang yang supel, atau sebut saja yang memiliki bakat sosialisasi yang tinggi, mereka bisa mudah untuk berteman dengan siapa aja. tapi kalo untuk bisa “cocok” dengan semua orang, itu belum tentu bisa. Ya, apa lagi aku. Dengan ke ansosan yang aku miliki, aku seakan
dipaksa untuk bisa cocok dengan mereka, Mereka yang seumuran denganku, mereka
yang ga aku kenal, mereka yang juga memasuki tahap hidup labil, mereka yang sama
sepertiku yang egonya belum terlatih, mereka yang anak SMP. Akhirnya, Setelah 3
tahun berlalu, aku pun lulus SMP. Selain
mengantongi surat tanda tamat belajar, aku juga seakan akan mengantongi surat
tanda tamat seleksi alam.
SMA, masa-masa
labil tingkat 2. Hidup ngekost tentunya sangat berbeda dengan hidup berasrama. Segalanya
seakan-akan bertolak belakang. Kamar yang berisik berubah menjadi sepi sunyi. Malam
yang hangat dan ramai berubah menjadi dingin dan sunyi menakutkan. Asrama yang
tak kenal kata privasi berubah menjadi kost-an yang akrab dengan privasi. Dan satu
satunya yang masih berbanding lurus adalah saat dimana ketika aku membuka mataku
di pagi hari, pantulan cahaya dari ayahku ga jatuh di retina mataku, dan saat
aku terbangun dari tidurku, getaran dari alunan suara ibuku ga menggetarkan
gendang telingaku. Ya, kita masih terhalang oleh jarak yang jauh.
Dan sekarang
kuliah. Dan saya ngekost. Dan yang saya rasakan masih tetap sama seperti SMA.
Dan perbedaannya hanyalah pada letak geografis kost-an saya berpijak.
Salah satu efek
samping yang saya dapat selama hidup jauh dari mereka adalah ketika kami
bertemu, aku seakan akan berubah menjadi bocah ingusan yang haus akan kasih
sayang mereka. Kurangnya frekuensi bertemu yang dialami selama ini seakan akan
menghasilkan gunungan rasa rindu akan omelan mereka. Dan rasa manja juga sisi
kekanak kanakan ku seakan akan sudah melampaui kotak manja yang ada di ruang
hati aku.
Dan salah satu tragedy
yang diakibatkan oleh efek samping itu adalah peristiwa ini.
Sekitar beberapa
minggu yang lalu, aku dijemput dari kost-an ku. Saat itu, yang ada dalam otak
aku hanyalah rasa bahagia karna malam itu aku ga akan tidur sendiri lagi. Besok
pagi, bayangan ayah aku bakal jatuh diretina mataku, dan alunan suara ibuku
akan menggetarkan gendang telingaku. Perasaan senang ini mampu mengenyampingkan
pikiranku tentang kuliah, membuatku amnesia dengan UTS, dan membuat aku berkata
“apa itu
kalkulus? Apa itu semacam nama makanan? Atau mungkin itu salah satu kode
rahasia?”.
Aku benar. Kami bertemu.
Dan aku bermanja-manja pada mereka. Saat malam, aku tidur dengan ibuku. Saat pagi,
ayahku bertanya keadaanku. Saat makan, aku disuapin ibuku. Dan masih banyak
lagi kemanjaan lainnya pada moment itu. Tapi sayangnya, kenapa segala macam
kemanjaan itu harus ada bayarannya?. Maksudnya, apakah rasa suka yang dialami
jiwa aku harus di bayar dengan rasa duka di raga aku?. Ya, aku sakit. Tapi anehnya,
aku bahagia saat aku sakit.
Pertanyaan-pertanyaan
yang ada di dalam kepala aku saat itu adalah, apakah ragaku harus selemah ini
agar aku bisa mendapatkan pelukan dari ibuku saat aku tertidur?, apakah suhu
didahiku harus sepanas ini agar aku bisa mendapatkan sentuhan tangan ibuku
sendiri?, apakah tenggorokanku harus sesakit ini agar aku bisa mendapatkan
suapan makanan yang dilayangkan ibuku?, apakah aku harus tidur dirumah sakit
hanya untuk sekedar mendengar ayahku berkata “sekarang gimana kabarmu?”?, apakah harus ada darah yang mengalir dihidungku agar aku bisa mencium
harum tubuh ibuku?, apakah harus ada jarum yang di tancapkan pada pembuluh
venaku agar bayangan mereka jatuh diretinaku?, apakah darahku harus diambil
beberapa kali sehari agar aku bisa mendapatkan perhatian mereka?, dan apakah
aku harus sakit agar aku bisa bertemu mereka?.
Okey, aku terima
semua ini. Mungkin emang ini jalan yang harus aku lewati agar aku bisa mengerti
seberapa berharganya waktu yang kita lalui bersama, dan agar aku mengerti bahwa
perpisahan itu bukan untuk melahirkan kepedihan tapi untuk menambah kerinduan. (Hahaha,
terdengar menjijikan)
pas smp teh siapa aja temen temennya?sebutin atuh,dan aku tau sopo.hahaha
BalasHapus*sombong